Kampanye 16 HAKTP: Kekerasan Berbasis Gender sebagai Produk Budaya Patriarki

“Semua kata korban adalah benar sampai terbukti sebaliknya,” tekan Gusti Arirang mengenai korban Kekerasan Berbasis Gender (KBG) dalam Talkshow Opening 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan yang diadakan oleh HopeHelps pada 25 November 2020 lalu. Gusti merasa bahwa hal tersebut merupakan salah satu upaya untuk memahami isu-isu kekerasan seksual. Hal ini dikarenakan korban sulit untuk terbuka mengenai tindak kekerasan yang pernah dialaminya sehingga perlu adanya pemahaman terhadap kondisi korban dari elemen masyarakat.

Tanggal 25 November sendiri diperingati sebagai Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP). Peringatan HAKTP tidak lepas dari mandat Komnas Perempuan untuk meningkatkan kesadaran bahwa hak-hak perempuan adalah hak asasi manusia, sehingga kekerasan terhadap perempuan merupakan bagian dari pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini lah yang mendorong Komnas Perempuan untuk mengkampanyekan 16 HAKTP setiap tanggal 25 November hingga 10 Desember. Komnas Perempuan merasa bahwa untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan, dibutuhkan kerja sama dan sinergi dari berbagai komponen masyarakat. Masyarakat perlu bergerak serentak dalam melawan dan menghapus kekerasan terhadap perempuan.

Perlunya sinergi dalam melawan tindak kekerasan terhadap perempuan inilah yang mendorong HopeHelps untuk turut mengisi rangkaian kampanye tersebut. Bertemakan Stronger Together, HopeHelps mengajak masyarakat Indonesia untuk memahami KBG yang kasusnya selama ini masih banyak terjadi, terutama di lingkungan sekitar. Bentuk ajakan beragam, mulai dari webinar, Instagram live, panggung ekspresi, hingga mimbar bebas. Kampanye ini dibuka pada 25 November 2020 dengan menghadirkan talkshow bertemakan “Through the Glass Ceiling: Bersama Melawan Kekerasan Berbasis Gender”. Acara ini menghadirkan lima pembicara: Dian Indraswari selaku Direktur Eksekutif Yayasan Pulih, Nining Elitos selaku Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI), serta Gusti Arirang, Ayu Shita, dan Tatyana Akman yang merupakan public figures. HopeHelps sendiri merupakan sekelompok perkumpulan yang menyediakan layanan tanggap dan pencegahan kekerasan seksual di kampus-kampus di Indonesia.

KBG sendiri merupakan kekerasan langsung pada seseorang berdasarkan seks atau gendernya. Bentuknya meliputi kekerasan fisik, seksual, verbal, emosional, psikologis, ancaman, paksaan, dan penghapusan kemerdekaan. KBG dapat terjadi pada perempuan, laki-laki, hingga kelompok rentan. “Anak-anak dan kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) merupakan kelompok rentan yang sering kali menerima KBG,” jelas Dian.

Naomi, moderator talkshow, membuka acara dengan memberikan penjelasan penyebab terjadinya KBG. Menurutnya, KBG merupakan buah dari struktur sosial dalam masyarakat yang masih melanggengkan budaya patriarki. Budaya patriarki ini menimbulkan relasi yang tidak setara antara lelaki dan perempuan, serta peran gender itu sendiri dalam masyarakat.

Budaya patriarki itu sendiri juga tidak terlepas dari konsep maskulinitas dan femininitas yang mengakar kuat dalam masyarakat hingga dewasa ini. Pelabelan gender pada warna untuk kaum lelaki dan perempuan menjadi salah satu contohnya, misalnya dengan memberikan barang berwarna pink pada perempuan dan biru pada lelaki. Pelabelan gender berlaku juga pada aktivitas, sifat, dan bahkan jenis barang yang umumnya digunakan oleh kelompok tertentu. Aktivitas seperti menari, memasak, mencuci, dan menyapu selalu dikaitkan dengan pekerjaan perempuan. Mudah menangis, lemah, ulet, rajin, dan tidak mungkin melawan juga selalu diidentikkan dengan sifat perempuan. Kosmetik, aksesoris, dan perhiasan pun kerap dikaitkan sebagai barang-barang yang lumrahnya digunakan perempuan. Sementara laki-laki cenderung diidentikkan dengan sepak bola, motor besar, sosok pemimpin, kepala keluarga, kuat, logis, game, dan hal-hal yang dianggap maskulin lainnya.

Konsep maskulinitas dan femininitas ini mereduksi hak setiap kelompok untuk mendapatkan atau melakukan sesuatu di luar stereotip yang sudah mengakar kuat dalam masyarakat tersebut. Hal ini tentu membuka celah-celah timbulnya berbagai bentuk KBG. Berbicara mengenai KBG di lingkungan kerja, Nining mengatakan bahwa stereotip terhadap perempuan sebagai kelompok yang ulet dan tidak mungkin melawan justru membuka ruang-ruang bagi para kapitalis dalam mengeksploitasi tenaga kerja perempuan yang murah.

KBG yang dialami korban, terutama korban pelecehan seksual, dapat menjadi sesuatu yang traumatis. Hal ini membuat mereka merasa tidak aman dan memilih untuk menutup rapat peristiwa yang dialaminya tersebut. Dian menyebutkan bahwa korban cenderung menyalahkan dirinya sendiri karena takut untuk melapor atau terbuka kepada orang lain. Menurut Dian, korban takut masyarakat justru akan menghakiminya, bukan mengapresiasi usahanya untuk terbuka dan mendukungnya sepenuhnya. “Korban sudah cukup terpukul dan hancur akibat tindak KBG yang dialami. Sehingga apabila kemudian usahanya ini malah mendapat penghakiman dari masyarakat, maka dia akan menjadi korban untuk kedua kalinya,” jelas Dian. Menurutnya, hal ini akan menimbulkan luka yang lebih dalam dan berdampak pada psikologis korban.

Rendahnya daya terima masyarakat terhadap isu-isu KBG disebabkan oleh stigma masyarakat terhadap isu KBG itu sendiri. Menurut Tatyana, isu KBG dalam masyarakat masih dianggap sebagai sesuatu yang sensitif sehingga jarang sekali dibahas. Kurangnya pemahaman mengenai KBG ini menjadi salah satu alasan maraknya kasus KBG dalam keseharian. Dian turut menyebut catcalling sebagai bagian dari pelecehan seksual yang kerap ditemui dalam keseharian, yang mungkin masih dianggap sepele oleh sebagian orang. Gusti menyebut, tidak banyak masyarakat yang sadar bahwa hal yang dilakukan tersebut merupakan bagian dari KBG. “Sehingga ini merupakan PR bersama untuk dapat turut mengedukasi masyarakat mengenai KBG,” tutur Gusti.

Usaha pengedukasian ini menurut Tatyana dapat dilakukan melalui platform media sosial. Menurutnya, penting bagi orang-orang yang bergerak di bidangnya masing-masing, termasuk influencer, untuk turut menyuarakan isu KBG di platformnya masing-masing. “Terlepas dari ada yang setuju atau tidak, diskusi seperti ini perlu ada karena dapat turut menghadirkan perspektif lain,” jelasnya. Setuju dengan Tatyana, Ayu juga berharap agar pengedukasian kepada masyarakat, baik secara langsung maupun melalui platform, tidak hanya dilakukan di awal saja. “Membawa isu ini jangan hanya sekali dua kali saja, tapi berkelanjutan sehingga orang-orang akan terus aware,” pungkas Ayu.

Selain pengaruh budaya patriarki dan stigma yang terpatri dalam masyarakat, langgengnya KBG juga disebabkan belum adanya regulasi mengenai perlindungan dan penanganan terhadap korban KBG itu sendiri. Produk-produk politik saat ini belum berpihak pada perempuan dan kelompok rentan. Hal ini membuat RUU PKS menjadi harapan satu-satunya. “Saya berharap agar RUU PKS dapat segera dibahas dan disahkan,” harap Dian. Sementara itu, Gusti menggarisbawahi perlunya pelibatan perempuan yang memiliki perspektif gender dan berpihak pada kelompok rentan dalam pembahasan RUU ini.

Referensi

  1. https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-mari-menjadi-bagian-dari-kampanye-16-hari-anti-kekerasan-terhadap-perempuan-25-november-10-desember-2020
  2. https://pkbi-diy.info/kekerasan-berbasis-gender-kbg/#:~:text=Yang%20penting%20dicatat%2C%20bahwa%20KBG,dan%20seksual%2C%20maka%20itulah%20KBG.
  3. https://qbukatabu.org/2018/04/18/femininitas-dan-maskulinitas/

Penulis: Hanifatun Nida

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai